Aceh masih Menyimpan Ribuan Warisan Leluhur Bangsa yang tak Ternilai

  Jumat, 13 April 2018 - 13:18 |   BY admin
Aceh masih Menyimpan Ribuan Warisan Leluhur Bangsa yang tak Ternilai

Aceh adalah bumi tempat lahirnya penulis naskah kegamaan dan pujanggga (sastra Sufi/Islam). Nama-nama besar, seperti Hamzah Fansuri, Samsudin Sumatrani, Nurrudin Ar-Raniri, dan Abdurrauf Singkil, adalah tokoh-tokoh yang lahir dan bermukim di Aceh. Karya-karya mereka menginspirasi para ulama seantero Nusantara, sampai ke Asia Tenggara (Pattani, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Filipina) bahkan juga menjadi referensi ulama Hijaz Timur Tengah. Ironisnya, karya-karya besar mereka itu justru tersimpan, dan sebagian besarnya masih tersimpan dan berserakan di masyarakat.

Kondisi ini sangat memperihatinkan karena karya-karya anak bangsa yang tidak ternilai harganya itu bisa saja jatuh ke tangan para broker naskah, dan bisa menjualnya ke kolektor manca negara dengan harga yang cukup tinggi hanya karena untuk mendapatkan keuntungan finansial belaka. Sebut saja, misanya, manuskrip al-Quran yang ditulis dengan tinta emas bisa ditaksir harganya mencapai 150 juta. Pertanyaannya kemudian bagaimana negara hadir mengatasi masalah ini.

Pada hari rabu (11/4/2018) tim Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi yang dipimpin langsung oleh Kepala Pusat, Dr. Muhammad Zain, MAg, mengunjungi dua tempat penyimpanan naskah di Aceh Besar dan Banda Aceh. Mapesa (Museum Peduli sejarah) yang terletak di Punge Blang Tjut, Aceh Besar adalah salah satu tempat penyimpanan naskah yang dimiliki oleh Masykur, (20 tahun) asal Pidie. Ia menekuni koleksi naskah dan barang-barang antik sejak empat tahun yang silam, tepatnya ketika ia sedang berada di bangku sekolah SMA kelas II. Jumlah naskah yang dikumpulkannya sebanyak 400 naskah, 200 naskah disimpan di Mapesa, Aceh Besar, 200 naskah lainnya disimpan di rumah orang tuanya di Luengputu, Pidie Jaya. Naskah yang dikoleksi berjenis mushaf Alquran sejak abad ke 16M dan kitab-kitab ilmu pengetahuan agama lainnya, seperti Fiqih, Tasawuf, ilmu falak, ilmu Tajwid, Sejarah Aceh, dan obat2 obatan serta azimat dan ta’bir gempa. Pada umumnya naskah-naskah tersebut diproduksi antara abad ke-17-19M. Kondisi naskah-naskah ini masih belum mendapatkan perawatan yang baik, sementara keadaannya sudah rusak dan bahkan terpisah dari jilidan dan koyak-koyak. (foto terlampir). Naskah-naskah ini belum dikatalogisasi dan didigitalisasi.

Pada hari Kamis (12/4/2018) tim memburu lagi pelacakan naskah Aceh pada kolektor lainnya bernama Tarmizi (50 tahun), di Komplek BIP Ie Masen (Banda Aceh), asal Pidie juga. Ia memiliki naskah 600an dengan variasi isi yang berbeda-beda. Iya menyimpan sejumlah karya-karya besar dan penting, seperti karya Abdurrauf Singkil, Mir’atut Tullab, karya pertama Ar-Raniri, Akhbarul Akhirat, kitab Tajul Muluk, kitab Dala’ilul Khairat, dan banyak lagi kitab-kitab penting lainnya. Kondisi naskah sebagian sudah direstorasi, namun ia belum membuat katalog dan digitalisasi. Iya mencintai naskah ini sudah sejak tahun 1995. Ia memiliki idealisme untuk menjaga dan menyimpan manuskripnya untuk diberikan kesempatan kepada pengkaji dan penelaah manuskrip dari mana dan siapa pun. Namun ia tidak berkenan memberikan fisik dan kopi digital manuskripnya kepada lembaga-lembaga luar negeri, baik dalam bentuk kerjasama, menjual, menyimpan di lembaga-lembaga tertentu di luar negeri. Iya membuka pintu kerjsama penyelamatan manuskripnya hanya dengan lembaga-lembaga pemerintah negerinya dengan tetap menempatkannya di lokasinya.

Dari dua pengoleksi yang sempat dikunjungi tim di celah-celah agenda pelaksanakan kegiatan workshop validasi Alquran terjemah Bahasa Aceh, memberikan tantangan baru bagi Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi untuk melakukan banyak hal terkait penyelamatan warisan bangsa yang sangat berharga bagi generasi sekarang dan akan datang. Demikian ungkap Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi, Dr. Muhammad Zain, MAg. Langkah konkrit yang mendesak dan harus dilaksanakan segera adalah Katalogisasi dan digitalisasi, agar penyelamatan dapat dilakukan untuk satu tahap, tegasnya. Berikutnya, kerjasama dengan lembaga restorasi seperti Perpustakaan nasional dan lembaga daerah adalah langkah berikutnya. Selanjutnya, kajian untuk menelaah isi naskah dan melahirkan buku-buku yang maha karya menjadi tugas berikutnya. Naskah-naskah yang berbentuk petuah-petuah dan sejarah-sejarah perlu dicetak ulang dan dikemas secara sederhana dan menarik untuk dipersembahkan kepada masyarakat, agar mereka paham dan melek sejarah kekayaan leluhurnya akan dunia pengetahuan. Last but not least, naskah-naskah warisan bangsa ini perlu menjadi bahan kurrikulum muatan lokal bagi anak-anak sekolah agar generasi sekarang dan akan datang dapat melek sejarah dan paham pengetahuan masa lampau. (FI)

Mitra