Validasi Penerjamahan Alquran ke dalam Bahasa Aceh: Semangat melahirkan Terjemahan secara Objektif dan Valid

  Rabu, 11 April 2018 - 19:15 |   BY admin
Validasi Penerjamahan Alquran ke dalam Bahasa Aceh: Semangat melahirkan Terjemahan secara Objektif dan Valid

Aceh (11/4/2018), pelaksanaan memvalidasi hasil terjemahan Alquran ke dalam bahasa Aceh mulai dilaksanakan secara serius dan sungguh-sungguh di hotel Hermes, Banda Aceh oleh tim validasi dan peserta yang diundang. Kegiatan ini berlangsung selama tiga hari, mulai hari rabu hingga hari Jumat. Kegiatan ini dibuka langsung oleh Kepala Pusat Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi pada Rabu malam, dan keynote speech disampaikan oleh Rektor UIN Ar-Raniry. 

Pelaksanaan workshop validasi berlangsung cukup serius dan bersemangat. Para peserta workshop dengan penuh ketekunan dan keseriusan membahas kata perkata yang belum sesuai dengan sense umum dan baku, menjaga keobjektifan. Diskusi berlangsung dalam waktu yang cukup maksimal dan bahkan melebihi waktu istirahat di malam hari. Diskusi mengambil waktu sampai jam 12 malam pada dua malam kamis dan Jumat. Hasil yang dicapai juga sangat memuaskan karena telah berhasil memvalidasi sesuai target juz.

Penerjemahan al-Quran tentu mengalami liku-liku yang cukup rumit, karena harus mencari keobjektivan dan harus menghindari subjektifitas penerjemah sekecil mungkin. Dilandasi juga dengan konsep dasar Penerjemahan Al-Qur’an ini dibuat adalah untuk dipersembahkan kepada umat secara umum dan diharapkan dapat lebih mudah dipahami oleh pembacanya, demikian ungkap Prof. Dr. Alyasa’, guru besar UIN Ar-Raniry dalam materinya sebagai narasumber pada pembahasan awal workshop validasi Alquran Rabu malam (11/4/2018).

Dalam penerjemahan Alquran, unsur penafsiran tidak bisa dihindari. Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi menyatakan bahwa menerjemah ayat-ayat Alquran sesungguhnya juga menafsirkannya. Terjemah tidak hanya sekedar kegiatan pengalihan bahasa, melainkan termasuk interpretasi, mulai dari pilihan kata yang tepat sampai kepada penetapan kata. Namun penerjemahan tetap saja berupaya untuk mendekatkan makna dasarnya. Rektor UIN Ar-Raniry menyatakan sebagian besar ayat-ayat Alquran perlu ada penafsiran dan interpretasi karena ayat-ayatnya kebanyakan dhanni ad-dilalah, dan hanya sedikit ayat-ayat qathi dilalah. Karena itu, Alquran sesuai untuk sepanjang zaman dan tidak pernah terjadi kontra dengan pemikiran dan pengetahuan setinggi dan semaju apa pun.

Lebih lanjut, Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi menyarankan agar penerjemahan Alquran ini memperhatikan standar terjemahan Alquran yang sudah lama beredar dalam masyarakat, baik di Indonesia maupun di dunia. Sebut saja Tarjuman al-Mustafid karya agung Abdurrauf Singkil, Jalalain karya Jalaluddin Suyuti dan Jalaluddin Mahalli, dan Baidhawi karya Imam Baidhawi. Kitab-kitab ini sangat komprehensif. Contoh yang dapat dilihat dalam Tarjuman al-Mustafid, misalnya, penerjemahan kalimat bismillāhirrahmānirrahīm.  Singkili tidak menerjemahkan kata ar-rahman dengan “maha pengasih” melainkan “maha pemurah”. Selain itu, dalam ayat gairul magdūbi alayhim (Surah al-Fatihah ayat 7) Sinkili mengartikannya dengan “bukan orang-orang yang dimurkai” tidak dengan orang-orang Yahudi saja sebagaimana yang disebut dalam Tafsir Jalalain. Demikian juga halnya dengan kata walad dāllīn yang diartikan “dan bukan pula orang-orang yang tersesat” juga tidak diartikan untuk orang-orang Nasrani saja, sebagaimana dimuat dalam Tafsir Jalalain juga. Singkili terlihat sangat hati-hati dalam menerjemahkan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Beliau memuat penjelasan dalam konteks lebih luas yang bisa dipahami untuk konteks Nusantara juga. Karena itu, kehati-hatian dan keseriusan sangat penting dalam menerjemahkan Alquran. Demikian tegas Muhammad Zain.

Selain itu, karya yang bisa dijadikan rujukan adalah Tafsir al-Bayan, an-Nur karya Prof. Hasbi ash Shiddiqy, Al-Azhar karya Buya Hamka, Al-Furqan karya A. Hassan, dan tentu saja Terjemahan Alquran Departemen Agama RI, dan banyak lagi yang bisa dijadikan rujukan dalam penerjemahan Alquran seperti Meaning of the Glorious of the Quran karya Marmaduke Pickthall dan The Message of the Quran, karya Muhammad As’ad.

Dalam menerjemahkan kata-kata yang terdapat dalam ayat Alquran, setidaknya penerjemah juga harus memperhatikan arti yang tidak bias dan bisa membawa kemashlahatan kepada semua pihak. Sebut saja, kata sa’ihāt dalam surah at-Tahrīm ayat 5 yang sering diterjemahkan sebagai wanita-wanita yang berpuasa. Padahal kata ini dapat dimaknai tidak bias gender. Sebagaimana Abdullah Yusuf Ali memaknainya dengan who is travel for faith and fast, yaitu wanita yang mengadakan perjalanan haji atau dalam perjalanannya juga melaksanakan puasa. Bergerak dan berpetualang merupakan salah satu ciri dari katagori perempuan yang baik selain mukmināt dan qānitāt.

 

Kegiatan validasi penerjemahan al-Quran ke dalam Bahasa Aceh juga memiliki keunikan dan kehasannya tersendiri. Bahasa Aceh merupakan Bahasa yang paling singkat dibandingkan dengan Bahasa daerah lainnya. Bahasa Aceh yang exist di Aceh ada dalam bentuk internalisasi, belum ada Bahasa Aceh yang dipakai secara akademis. Sementara untuk terjemahan alangkah bagusnya apabila dapat mengkombinasikan dua hal tersebut, internalisasi dan akademis, demikian ungkap Prof. Dr. Alyasa’, guru besar UIN Ar-Raniry.

Akhirnya, Kepala Pusat Litbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi berharap agar validasi ini dapat segera selesai dan dapat membuatnya dalam versi digital juga sehingga generasi millennial dapat menggunakannya dengan mudah. Namun beliau berpesan agar setelah dapat produk terjemahan yang sudah divalidasi, baik dalam bentuk hard copy maupun versi digital dalam bentuk android, pentashihan melalui LPMQ (Lajnah Pentashihan Alquran) wajib dilakukan, sehingga mendapat tanda tashih. Setelah itu baru dapat disosialisasikan dan digunakan oleh masyarakat umum. (FI)

Mitra